Sarasehan bersama Kemenlu RI: Indonesia dan G20

Jumat lalu (25/8), Kementerian Luar Negeri RI kembali mengadakan kunjungan ke FISIP Unair, kali ini dalam rangka Sarasehan yang mengusung tema ‘Optimalisasi Pembangunan Daerah melalui Diplomasi Ekonomi Indonesia pada Forum G20’.

Sarasehan tersebut dibuka oleh sambutan dari Dr. Falih Suaedi selaku Dekan FISIP dan Muhsin Syihab selaku Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup. Sarasehan yang berdurasi sekitar tiga jam tersebut menghadirkan empat pemateri.

Pemateri pertama ialah Joko Susanto, SIP, MSc selaku salah satu dosen HI Unair yang mempresentasikan terkait ‘Manfaat Partisipasi Indonesia pada Forum G20: Peluang, Tantangan, atau Image Branding?’. Dalam presentasinya, Joko mengibaratkan Indonesia sebagai big boy at the crossroads, karena reformasi telah membawa Indonesia pada persimpangan. Di sini peranan Indonesia dalam G20 lebih memuat aspek politik, dibandingkan kinerja ekonomi dari Indonesia itu sendiri. Di satu sisi, Indonesia memiliki inisiatif kuat namun posisinya juga dikatakan mengambang. Oleh karena itu, di akhir presentasi Joko Susanto menekankan Indonesia, sebagai negara ASEAN satu-satunya yang hadir dalam Summit G20, harus bisa menjadi lebih dari sekadar memainkan peranan demi keuntungan branding semata, namun juga melakukan pendekatan pada tantangan globalisasi dan dinamika politiknya.

Pemateri berikutnya datang dari Agus Imam Sonhaji, ST, MMT, selaku Kepala Bappeda Pemkot Surabaya, yang membawakan materi bertajuk ‘Peran Kerja Sama Internasional bagi Pembangunan Kota Surabaya yang Inklusif’. Kemudian dilanjutkan oleh Airlangga Pribadi Kusman, Ph.D, yang membawakan materi mengenai ‘Peran Akademisi untuk Memanfaatkan Kerja Sama Ekonomi Internasional dalam Menunjang Pembangunan Daerah’. Dalam penyampaian materinya, Airlangga sempat menguraikan tiga permasalahan utama akademisi Indonesia dalam mengambil kebijakan. Pertama, dari konteks politik, idea of governance seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan mempertahankan kemakmuran mereka. Kedua, dilihat dari konteks sosial, ada kesenjangan antara akademisi dan masyarakat. Intervensi kalangan intelektual cenderung berorientasi pada pemerintahan otokratis yang menyebabkan elemen partisipatoris masyarakat menjadi tidak optimal. Permasalahan ketiga adalah dampak pada produksi karya ilmiah yang masih tertinggal jika dibandingkan negara lain di ASEAN, di mana Indonesia masih menduduki peringkat 61 yang menempatkan Indonesia di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Kemudian pemateri terakhir ialah Muhsin Syihab selaku Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup yang berbicara mengenai ‘Optimalisasi Pembangunan Daerah melalui Diplomasi Ekonomi Indonesia pada Forum G20’. Mekanisme G20 meliputi Sherpa track yang dihadiri oleh Sherpa (ahli yang ditunjuk oleh pemimpin eksekutif untuk turut berperan dalam persiapan pertemuan summit), di mana di sini pembahasan berkutat pada isu ekonomi, lalu mengalami proliferasi isu seperti pembangunan, investasi, iklim, refugee. Kemudian mekanisme lain ialah finance track yang dihadiri oleh menteri keuangan dan gubernur bank sentral, yang pembahasannya berkutat pada isu perpajakan.

Muhsin Syihab sendiri menyatakan bahwasanya pertemuan G20 ini merupakan forum yang sangat informal dengan kecenderungan men-mainstreaming-kan isu global, mengharuskan anggota G20 untuk membantu pembangunan infrastruktur serta mengurangi secara substansial subsidi yang dianggap tidak produktif. Forum yang tidak hanya membahas mengenai manajemen krisis pemecahan masalah, namun juga agenda setting  dari ekonomi global dan sebagai sarana untuk membangun partnership.

Dalam G20 ini, Indonesia berhasil melakukan diplomasi ekonomi dengan negara-negara Asia dan Pasifik. Dalam forum ini pula Indonesia menjadi negara pertama yang pemimpin negaranya secara resmi menyatakan oposisinya terhadap terorisme. Maka tak heran jika salah satu hasil dari G20 ini adalah G20 Action Plan on Countering Terrorism. Terakhir, Muhsin Syihab menutup presentasinya dengan mengungkapkan bahwa G20 akan selalu relevan, karena berkaca juga dari pernyataan Joko Susanto, bahwasanya G20 merupakan forum yang bentuknya crisis committee. G20 ada karena permasalahan atau krisis itu ada dan selama krisis itu ada (yang mana akan selalu ada), G20 akan tetap dianggap relevan.

Terakhir, acara ditutup dengan saling bertukar cinderamata dan makan siang bersama.

Share